Ternyata Bus Trans Jakarta Serakah


Selasa kemarin, saya pergi ke Jakarta lagi. Kenapa saya bilang lagi? Karena memang senin pagi saya baru kembali dari Jakarta. Badan rasanya remuk mondar-mandir Jakarta-Jatinangor-Jakarta-Jatinangor dalam 2 hari. Bahkan karena kelelahan akibat mondar-mandir itu, kini saya terserang flu.

Memang sejak jumat kemarin saya sudah kembali ke Jakarta, biasa, agenda rutin pulang ke rumah. Tapi karena harus mengurus proposal, maka seninnya, saya harus kembali ke Jatinangor terlebih dahulu. Padahal selasa pagi saya ada kegiatan di Jakarta. Sialnya, ternyata proposal belum selesai, dan itu berarti saya sia-sia kembali ke Jatinangor.

Selasa pagi itu, saya dibangunkan pukul 5 pagi oleh alarm handphone. Suaranya nyaring dan mengganggu. Saya yang baru tidur pukul 2 pagi cuma sanggup mematikan alarm handphone. Setelah berjuang melawan kantuk, saya akhirnya benar-benar bangun pukul 05.40. Saya pun bergegas mandi dan rapi-rapi.

Dari kosan saya berangkat menggunakan angkot menuju cileunyi. Selama perjalanan saya masih menimbang-nimbang, sebaiknya pergi atau tidak ke Jakarta. Di satu sisi, bnyak sekali pekerjaan di Jatinangor. Di sisi lain, takut menyesal jika tidak ikut pelatihan di Jakarta.

Ketika di dalam angkot, saya sudah berpikir tidak akan jadi pergi jika bus ke Jakarta tidak datang hingga pukul 7. Namun, rupanya sudah takdir saya untuk pergi, ketika saya sampai di cileunyi, bus itu sudah nangkring di depan halte. Oke, saya pun akhirnya berangkat.

Untungnya perjalanan Bandung-Jakarta tidak terlalu macet. Anehnya, kemacetan aru terjadi di aerah kampung rambutan yang sudah sangat dekat dengan tujuan saya,pasar rebo.

Sampai di pasar rebo, naiklah saya ke bus trans Jakarta dengan tujuan Kampung Melayu. Ketika itu, kira-kira waktu sudah menunjukkan pukul 8.45. Padahal saya ditunggu di tebet pukul 10.30.

Harapan saya naik bus trans Jakarta bisa menghemat waktu, pupus begitu saja ketika melihat busway macet. Kenapa busway bisa macet? aneh sekali bukan? Bus trans Jakarta kan punya jalur sendiri dan dibuat untuk menghindari kemacetan.

Gimana nggak macet, jika busway yang jelas-jelas jalur untuk bus, khususnya bus trans Jakarta, justru diisi oleh bus-bus lain, mobil angkot, mobil pribadi, dan motor. Jadi percuma saja ada busway kalo begitu.

Tapi hal seperti ini sudah biasa di Jakarta. Bahkan ketika jalan tidak terlalu padat pun, banyak kendaraan di luar bus Trans Jakarta terkadang lebih memilih menggunakan busway. Entah apa alasannya, hal ini sering sekali saya temukan.

Meskipun, hal seperti ini sebenarnya aneh dan sangat-sangat mengganggu, tapi masih ada hal yang menurut saya lebih "gila" lagi.

Ketika itu, bus trans Jakarta yang saya naiki sedang berada di daerah Keramat Jati dan mengalami kemacetan. Di depan bus trans Jakarta yang saya naiki terdapat bus trans Jakarta juga. Baik busway atau jalur biasa, sama saja macetnya ketika itu. Bahkan jalur biasa jauh lebih macet. Yang membuat saya tidak habis pikir adalah ketika sopir bus Trans Jakarta tiba-tiba keluar dari busway dan mengambil jalur biasa yang kondisinya lebih macet.

Hal ini membuat saya bingung sekaligus senewen. Ketika itu saya sedang diburu-buru tapi bus trans Jakarta ini justru memilih semakin menjerumuskan diri ke kemacetan. Ternyata setelah saya pikir, mungkin sopir bus ini mengambil jalur lain karena di jalurnya ada juga bus trans Jakarta lain yang posisinya persis di depan. Mungkin ia sengaja ingin membuat jarak dengan bus trans Jakarta lainnya. Dugaan saya beralasan, karena memang setelah bus trans Jakarta itu jaraknya sudah tidak terlalu dekat, bus yang saya naikin kemudian memasuki busway lagi.

Alasan itu sepertinya bukan membuat saya maklum, tapi justru semakin senewen. Kenapa harus menjaga jarak? Toh bus trans Jakarta selalu ramai penumpang, bahkan sampai-sampai manusia dipepet-pepet seenaknya. Lalu apa untungnya saya naik busway tapi jalurnya sama saja dan tetap terkena macet dan berpepet-pepetan? Belum lagi fasilitas, seperti halte yang semakin buruk.

Jujur, dulu ketika bus trans Jakarta baru beroperasi, saya sangat berharap bus ini bisa menjadi sarana angkutan umum yang nyaman, aman, cepat, dan cukup terjangkau. Apalagi ketika jalur Tanjung priok-Cilitan (domisili saya di Tanjung Priok ketika di Jakarta)ketika itu baru dibangun, banyak berharaplah saya. Saya berharap bus trans Jakarta akan mempermudah mobilisasi saya karena dapat menjangkau banyak tempat dengan sekali bayar, nyaman, dan terhindar dari macet.

Tapi, kenyataannya? Sudah macet, pepet-pepetan, dan yang lebih mengecewakan, meskipun jalur Tanjung Priok-Cilitan sudah rampung sejak dua tahun lalu , jalur ini tidak juga dioperasikan. Tanya sama Pak Fauzi Wibowo kenapa?

Padahal, pasti sudah banyak dana yang dikeluarkan. Parahnya, shelter-shelter yang sudah di bangun sudah mulai rusak sebelum digunakan sebagaimana mestinya. Belum selesai permasalahan busway, pemerintah justru menawarkan moda baru yaitu kereta api bawah tanah. Hal ini dipamerkan di Jakarta Fair. Saya kemudian teringat pada proyek monorel yang sudah mengeluarkan biaya miliaran tapi akhirnya malah tidak jadi.

Padahal ketika proyek monorel ini dibangun, pemerintah juga sedang merampungkan proyek busway. Anehnya lagi, kenapa dari awal tidak menggunakan monorel yang jelas-jelas tidak memakan tempat. Malah ketika proyek busway yang baru berjalan sebentar itu, pemerintah buru-buru membangun monorel. Namun, entah mengapa, kurang jelas alasannya, monorel dihentikan dan tidak dilanjutkan padahal sudah mengeluarkan biaya miliaran rupiah. Busway pun hingga sekarang tidak juga rampung. Masih banyak tempat yang belum terjamah. Bahkan beberapa jalur yang sudah selesai, tidak juga digunakan hingga fasilitasnya pun rusak.

Bagaimana permasalahan kemacetan bisa selesai, kalau selalu saja mencari solusi baru, tanpa konsisten merampungkan solusi yang lama.
Read more...

I'm not yours


Malam gelap, tak banyak bintang. Tapi memang bukan bintang yang kita cari di tempat ini. Justru cahaya dari lampu-lampu kota yang menjadi tujuan kita duduk di atap gedung seperti ini. Bintang yang bertaburan terlalu sulit dinikmati di kepadatan kota Jakarta. Realistis saja, itu alasanmu memilih kilauan cahaya lampu kota sebagai ganti taburan bintang. Kamu juga yang memperkenalkanku pada tempat ini, mengajakku kemari dikala kamu bosan dengan rutinitas kota atau kesal dengan tekanan keluarga yang menginginkanmu menikah secepatnya dengan pilihan mereka. Aku selalu mengikutimu, mengikuti apapun yang kau mau.

Tapi malam ini berbeda. Kini kamu yang menuruti kemauanku. Bukan kamu yang mengajakku ke tempat ini seperti biasa karena bosan dengan rutinitas kantor atau tekanan keluarga yang memintamu segera menikahi gadis pilihan mereka. Kali ini aku yang memintamu. Dan seperti biasa, kamu seringkali meloloskan keinginanku, kecuali ketika aku memintamu melepaskanku.

Kau duduk disampingku memandang ke depan, ke arah kilauan cahaya lampu kota sambil berbisik. “Perempuanku, bisakah malam ini, biarkan ada kita, bukan kamu atau aku?”

Dulu aku selalu tersenyum ketika kamu memanggilku perempuanmu. Namun kini, yang terasa justru perih. Aku masih menunduk. mesti kutahu pasti matamu menatapku lekat. Aku tahu pasti dimana batasku. Aku hanya diam tak sanggup balik menatapmu.

“Kenapa kau panggil aku demikian? Kamu tahu pasti, kini aku tak suka dipanggil dengan panggilanmu itu.” Aku bertanya setengah berbisik.

“Kenapa? Bukankah dulu kau sangat suka ketika aku memanggilmu perempuanku?” Dia balik bertanya. Namun aku hanya diam.

“Aku ingin malam ini kau jadi perempuanku. Biarkan dunia berkata apapun. Kau tetap perempuanku. Dan saat ini, aku ingin hanya ada Kita.”

“Sampai kapan ada kata Kita?” Aku kini memberanikan diri menatapnya. Menatap wajah yang paling kucintai 5 tahun terakhir ini.

Dia menghela nafas. Berpaling dariku dan kembali menatap ke depan. Tangannya semakin mendekapku erat.

“Aku bukan perempuanmu Seno, ingat itu! Dan hubungan ini tak akan ada ujungnya.” Aku memalingkan wajahku dan ikut menatap ke depan seperti yang ia lakukan sambil melepaskan dekapannya.

“Tuhan.. sesulit itukah?” Tiba-tiba kau menyebutkan nama-Nya. Nama yang jarang sekali kudengar dari mulutmu.

“Sudahlah Seno! Hubungan kita dari awal memang sudah salah. Aku tak mengerti mengapa kita bisa jadi begini. Dulu kita sahabat, tak bisakah Kita kembalikan hubungan kita seperti dulu?” Aku menatapnya semakin lekat. Dadaku terasa sesak mengucapkannya.

“Kamu bisa?” Ia kembali menatapku.

“Ya .” Aku memalingkan wajah dan menjawabnya dengan suara lirih .

“Tatap aku” dia memintaku setengah membentak. Tak lama kemudian matanya berubah menjadi sayu ketika tatapan kami bertemu. Dia menemukanku air mataku dan kemudian memelukku. Akupun terisak-isak dibahunya.

“Tapi kamu menangis. Dan itu pasti jawaban bohong! Kamu sama denganku. Sama-sama tak bisa melepaskan hubungan ini. Aku mencintaimu perempuanku.”

“Berhenti memanggilku demikian Seno. Aku bukan perempuanmu.” Aku melepaskan pelukannya. Kini aku benar-benar marah. Seno benar-benar membuatku semakin marah. Marah dengan keadaan dan marah dengan Tuhan.

“Lalu kau ingin kupanggil apa? Kalau kekasihku saja bagaimana?” Tanyanya memamerkan wajahnya yang jenaka. Mencoba menghiburku. Dia lalu tersenyum dan melanjutkan kata-katanya. “Tidakkah kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu?”

Aku menghela nafas. Mencoba menatapnya tanpa sedikitpun air mata menetes. “Aku mencintaimu Suseno Prakuso Dewo. Melebihi apapun juga”. Aku mencoba kuat. Namun tetap saja air mata ini meleleh. Kuseka air mataku dan melanjutkan setiap kata-kata dengan isakan.

“Tapi tak ada yang mendukung Kita. Keluarga kita, orang-orang disekitar Kita. Semua membenci Kita yang seperti ini. Bahkan Tuhanpun bisa murka.” Dia diam. Seperti mencoba menelaah setiap kata yang kuucapkan.

“Tuhan.. kenapa kamu buat kami bingung.” Kamu bertanya seolah Tuhan ada didepanMu.

“Ini semua memang sejak awal sudah salah. Kamu, Aku, Kita sama-sama tahu kita salah. Dan kita terjebak terlalu dalam. Kini, janganlah Kita menyalahkan Tuhan.” Aku mencoba meraih bahunya, mencoba menenangkannya, padahal hatiku juga sama kacaunya.

“Pulanglah Seno, semua orang menunggumu. Keluargamu, mereka membutuhkanmu. Semuanya menantimu dirumah. Jangan sampai mereka tahu kamu masih bersamaku disini. Demikian juga aku. Tinggalkan saja aku sendiri disini.” Aku kemudian bangkit dari posisi dudukku dan mencoba memberikan tanganku.

“Tapi, kau perempuanku. Tak mungkin aku meninggalkanmu.” Kau menetapku dan tetap tak mau bangkit dari posisimu. Namun tanganmu justru menggenggamKu erat.

“Sudahlah. Kalau begitu biar aku yang pergi meninggalkanmu duluan. Kembalilah pada keluargamu. Anggap saja Kau dan Aku hanya kenangan buruk yang harus dilupakan. Terima Kasih atas segalanya.” Aku akhirnya menarik tanganku darimu. Berpaling darimu dan meninggalkanmu.

“Tunggu” Suara itu menghentikan langkahku. Namun, aku tak bisa menoleh dan tak boleh menoleh sedikitpun. Aku hanya diam mendengarkan.

“Kau bukanlah kenangan buruk. Kau kenangan terindah dalam hidupku. Dan kau akan tetap menjadi perempuanku.” Teriaknya membuatku ingin sekali dan berpaling memeluknya. Tapi aku harus kuat.

“Demikian kau juga dihatiku Sen. Kau adalah kenangan terindah. Namun tetap aku bukan perempuanMu. Terima kasih Seno..” Lirihku dalam hati. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. “Maafkan Aku Tuhan. Ampuni Aku.”

“Mahendra Atmaja”

Kau meneriakkan namaku. Namun, aku tetap harus berjalan ke depan. Tak boleh lagi menoleh ke belakang. Biarlah kisah itu berlalu dan kita sama-sama memulai lembaran baru. Tak ada lagi kata “kita”. Kini hanya ada kata kau atau aku.


Jakarta, 31 Oktober 2009
23.14
Read more...