Pantaskah Dijuluki Agent of Change??

Semalam, saya baru saja berbincang-bincang dengan seorang teman. Dia lihat status saya di YM yang menyebutkan kalau saya sedang berkutat dengan HAM. Sebenarnya saya bilang begitu karena sedang membaca sebuah handout dari diskusi panel soal institusionalisasi akuntabilitas pelanggaran HAM yang gw ikutin hari kamis, 10 desember kemaren pas hari HAM sedunia.

lalu berbincang-bincanglah kami tentang parahnya pemerintahan Indonesia dan keanehan atau abstranya penanganan dalam memperlakukan pelanggaran HAM.
Misalnya saja, pengadilan HAM yang cuma ada di Indonesia. DI negara lain, kejahatan HAM diusut dengan pidana atau perdata saja.

Lalu, apa sih hukuman bagi pelanggar HAM? APa yang kemudian dilakukan pemerintahan Indonesia?

Pelanggar HAM itu kan kebanyakan pemerintah, atau militer. Sebenarnya bisa saja pihak swasta. Nah, yang selama ini sering terjadi kan oleh militer.
Di AS, jika terjadi pelanggaran oleh militer, kata temen saya itu, maka si tentara itu diadili di pengadilan militer, jika terbukti bisa dipecat, dan kemudian diadli di pengadilan biasa.

Nah, kalo di Indonesia? Wiranto saja yang jelas-jelas terbukti bersalah sampe sekarang masih bisa hahahihi. Malah berani nyalonin diri jadi presiden. Macam mana coba?

Perbincangan kami kemudian berlanjut pada pengalaman saya iku dalam pemutaran film ham dan disusi panel yang diadain Fakultas Hukum Unpad itu.

Menurut saya, acara HAM itu cukup besar, spanduknya besar di pampang di kampus dipati ukur (pusatnya UNpad. Karena rektorat ada di Dipati Ukur), ada pengumumannya di website Unpad, dan yang paling penting adalah gratis (mahasiswa kan hobinya cari geratisan, termasuk saya).

Tapi? spanduk besar dan pengumuan di website ternyata tidak membawa dampak signigfikan. Buktinya, yang datang sangat sedikit.

Ketika saya ikut dalam pemutaran filmnya saja, di dalam ruangan tidak ada 50 orang.. mungkin sekitar 30 orang. Lebih parahnya, sebagian besar adalah panitia. Dilihat dari almamater yang digunakan.

Pada saat diskusi panel juga demikian. Tidak jauh berbeda kondisinya. Memang, diskusi panel ini ada 3 bagian di waktu yang sama. Namun, melihat jumlah mahasiswa Unpad saja yang cukup banyak. Bukan mahasiswa Unpad deh, mahasiswa yang ada di dipati ukur kan banyak, mahasiswa hukum juga sebenarnya banyak. Tapi kenapa peserta acara ini sedikit. Segitu tidak tertariknya kah? Segitu tidak pedulinya kah?

Mahasiswa-mahasiswa yang katanya kaum intelektual, kemana mereka saat diskusi inteletual soal masalah bangsa seperti ini?

Mereka atau kita, justru memilih menonton endah resha dan erk dibandingkan ikut diskusi.

Saya bilang begini ke teman saya:Menurut lo? Mahasiswa sekarang yang apatis, atau mahasiswa dari dulu sudah apatis? (saya berpikir, sebenarnya mahasiswa dari dulu juga banyak yang apatis).
Teman saya menjawab: sama aja. dari dulu memang banyak mahasiswa yang apatis. Tapi kalau dulu itu masih ada yang vokal, sekarang g ada.

Dia cerita, beberapa waktu yang lalu dia miris mendengar ketika akan ada demo anti korupsi 9 desember kemarin, seorang mahasiswa berkata, untuk apa demo, tugas mahasiswa kan belajar.

Lalu, dimana peranan mahasiswa yang katanya agent of change? bingung jadinya, siapa sih sebenarnya yang membuat istilah itu?

oia, dari obrolan itu, saya baru tahu kalau ternyata peristiwa 98 itu bukan digerakkan oleh mahasiswa. Tapi ada orang2 dibelakang. Jadi mahasiswa cuma bergerak di lapangan saja.Hmmm... sepertinya saya memang perlu banyak membaca sejarah.

Ada lagi, belakangan ini saya sedang tertarik dengan feminisme dan mengangkat pergerakan perempuan sebagai topik tugas indepth reporting saya dan seorang teman yang punya minat yang sama.

Tapi apa pendapat teman yang lain? Mereka kemudian meledek saya, hati2 aja ntar jadi aktivis perempan, jadi feminis.

Memang kenapa jika menjadi feminis atau aktivis perempuan? toh mereka berbuat lebih banyak ketimbang orang-orang yang bisa cuma berbicara nggak jelas mengkritik mereka tanpa berbuat lebih, padahal mereka yang mengkritik tidak tahu apa itu feminisme dan apa yang sudah dikerjakan aktivis-aktivis peremuan selama ini yang mungkin hasilnya mereka nimati sekarang.

Bukan cuma itu, teman diskusi saya di YM tersebut juga sama. DIa diledek karena membaca buku-buku kiri, marxis dan teman-temannya. Padahal, saya yakin seyakin-yakinnya. Teman saya yang meledek teman saya yang membaca buku marxis ini pasti belum pernah membaca buku-buku itu secara keseluruhan, bahkan mungkin belum pernah menyentuh, hanya mendengar.

Kebanyakan bespekulasi dan berbicara bukan berdasarkan fakta dan pengalaman pribadi, tapi hanya dengar-dengar, saya pikir banyak mahasiswa yang seperti itu. Lalu, bagaimana nasib bangsa ini.

Saya sekarang sedang mencoba belajar banyak hal dan menghargai segala hal. Takut akhirnya saya justru seperti apa yang saya kritik. Bukan saya merasa lebih dari siapapun atau merasa paling benar, ini hanya ungkapan kegusaran saya.
Read more...