Menelusuri Jejak Kotatua

“Zaman dahulu sistem perbankan sudah cukup canggih. Pintu brankas ini sistemnya otomatis, jadi akan terbuka jam 5 pagi dan tertutup secara otomatis jam 5 sore. Jadi kalau ada yang nggak keluar jam 5 sore, ya terpaksa tunggu jam 5 pagi,” tutur seorang guide menjelaskan pintu brankas otomatis yang ada di museum Bank Mandiri yang disusul tawa oleh rombongan wisatanya.

Wisata Kotatua ini sudah dimulai sejak pukul 8 pagi dengan tujuan pertama Museum Bank Mandiri. Memasuki musem Bank Mandiri kita akan merasakan aura perbankan pada abad ke-17. Pada masa itu pencatatan kegiatan perbankan masih sangat sederhana dengan menggunakan buku yang ukurannya sangat besar, meskipun sudah menggunakan sistem pintu brankas otomatis.

Setelah asik melihat-lihat kegiatan perbankan masa lalu, tujuan selanjutnya adalah museum Bank Indonesia yang terletak tepat disamping museum Bank Mandiri. Berbeda dengan museum Bank Mandiri, pengunjung di museum Bank Indonesia diajak memahami sejarah Indonesia dan sistem perbankan Indonesia melalui teknologi yang cukup canggih, salah satunya berupa komputer layar sentuh. Teknologi canggih ini tentunya menjadi sarana yang menyenangkan bagi anak-anak untuk belajar.

Perjalanan kemudian berlanjut ke museum wayang, museum seni dan keramik,museum fatahillah, dan museum sejarah Jakarta. Setiap museum memiliki cerita khas tersendiri. Ada saja cerita dari bangunan-bangunan indah tersebut yang tidak tercantum dalam buku sejarah sekolah yang sebenarnya menarik untuk diceritakan. Museum wayang misalnya, sebelumnya bentuk bangunannya tidak seperti museum wayang yang kita lihat saat ini. Bentuk museum wayang yang asli sudah roboh oleh gempa bumi dan dapat kita lihat di museum fatahillah.

Selain itu, cerita dibalik bangunan-bangunan sejarahnya pun sangat menarik, misalnya saja bagunan-bangunan tua Belanda yang tidak memiliki jamban dan membuang kotorannya di baskom untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan hingga akhirnya menyebabkan penyakit disentri yang ketika itu membunuh banyak penduduk Batavia karena belum ada obatnya.

Abad ke-17

Berbeda dengan sudut-sudut kota Jakarta yang sudah dipenuhi dengan bangunan-bangunan modern, hampir seluruh sudut kawasan Kotatua dipenuhi dengan bangunan-bangunan bergaya arsitektur Belanda. Ada beberapa yang terawat, tapi banyak yang terabaikan.

Beberapa bangunan tua yang terawat biasanya sudah beralih fungsi menjadi museum, café, bank, ataupun hotel. Sedangkan yang tidak digunakan biasanya akan dibiarkan begitu saja, yang kemudian akhirnya termakan oleh usia dan tangan-tangan jahil.

Setiap gedung memiliki cerita tersendiri, demikian juga dengan kawasan kota sendiri yang dahulu merupakan pusat pemerintahan Batavia. Kota tua ini berawal dari kota Jayakarta yang dibangun oleh Fatahilah di atas lahan bekas Sunda Kelapa pada tahun 1527. Ketika itu, luas kota tersebut tidak lebih dari 15 hektar dengan pola tata kota tradisional Indonesia. Namun, kota Jayakarta ini akhirnya hancur diserang VOC Belanda yang ketika tahun 1619 dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen.

Di atas reruntuhan kota Jayakarta ini, Belanda kemudian membangun kota baru yang diberi nama Batavia. Nama Batavia ini diberikan sebagai penghormatan terhadap kaum Batavieren, suku bangsa Eropa yang menjadi nenek moyang orang-orang Belanda tersebut. Kota baru tersebut terletak disebelah timur sungai Ciliwung dengan pusat kota kini masih terlihat disekitar Taman Fatahilah sekarang, Orang-orang pribumi Batavia dijuluki Batavianen (orang Batavia) yang kemudian diucapkan menjadi orang Betawi.

Kota Batavia pada tahun 1635 kemudian diperluas ke sebelah barat Sungai Ciliwung di atas bekas kota Jayakarta yang hancur. Kota ini dirancang lengkap dengan sistem pertahanannya berupa tembok dan parit sekeliling kota. Tata ruang kota dibagi ke dalam blok-blok yang dipisahkan oleh kanal. Pembangunan kota Batavia in baru rampung pada 1650. Setelah pendudukan Jepang pada 1942, nama Batavi diganti menjadi Jakarta.

Kini, 4 abad setelahnya, kawasan Kotatua yang memiliki luas ± 846 Ha ini menjadi salah satu alternatif wisata, baik bagi wisatawan lokal maupun asing. Gedung-gedung tua berarsitektur Belanda ini memiliki detil keindahan yang tidak dimiliki bangunan-bangunan saat ini hingga tak salah jika banyak wisatawan yang berkunjung dan berfoto.

Komunitas Jelajah

Gedung-gedung tua pastinya tidak bisa lepas dari sejarah. Terlebih gedung tersebut adalah peninggalan 4 Abad lalu. Di kawasan Kotatua ini tak banyak yang mengetahui sejarah setiap gedung, sebagian wisatawan hanya memanfaatkan gedung-gedung tua tersebut untuk berfoto tanpa mengenali lebih jauh sejarah gedung-gedung tua tersebut.

Akibatnya, ada saja tangan-tangan jahil yang merusak berbagai aset sejarah. Misalnya saja coretan-coretan iseng yang bisa kita temukan di beberapa sudut gedung di Museum Fatahillah. Bahkan ada coretan iseng hasil tangan jahil yang terlihat disebuah lukisan yang sebenarnya tidak boleh disentuh.

“Generasi muda sekarang banyak yang tidak tahu sejarah. Makanya banyak yang melakukan vandalisme di gedung-gedung bersejarah tanpa tahu nilai sejarah dari apa yang dirusaknya,” tutur Dirgantara Bombom Pengurus

Karena itulah muncul beberapa komunitas pecinta sejarah dan bangunan tua yang kemudian membuat beberapa kegiatan jelajah wisata Kotatua. Jelajah wisata Kotatua tersebut diperuntukkan bagi masyarakat yang ingin mengenal sejarah tersebut dan menceritakan beragam sejarah bangunan tua. Mulai dari cerita-cerita dibalik setiap benda yang ada di museum-museum, hingga kebiasaan-kebiasaan kaum Belanda pada masa lalu.

Annisa (19) misalnya, salah satu peserta wisata jelajah Kotatua yang mengaku sudah 4 kali mengikuti kegiatan jelajah Kotatua. Mahasiswa sastra Indonesia Universitas Indonesia ini mengaku tertarik dengan cerita-cerita menarik yang melekat pada bangunan-bangunan tua

“Lebih asik ikutan jelajah dengan komunitas seperti ini. Kita bisa tahu cerita-cerita yang menarik, fakta-fakta kecil yang tidak ada di buku sejarah,” tutur Annisa.

Kegiatan “belajar sejarah” ini pun menjadi sangat menarik jika disajikan secara menarik. Misalnya saja dengan berkeliling Kotatua menggunakan sepeda ontel atau mengikuti jamuan layaknya orang-orang Belanda masa lalu yang diselenggarakan oleh Komunitas Jelajah Budaya ataupun komunitas-komunitas lainnya.

Namun, jika Anda berjalan-jalan sendiri dengan keluarga, teman, atau kerabat dan ingin menelurusi Kotatua yang cukup luas, Anda dapat memanfaatkan sepeda ontel yang disewakan di sekitar museum Fatahillah. Sepeda Ontel ini dapat Anda sewa dengan mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk satu jam peminjaman.

Anda juga dapat memilih sendiri sepeda ontel mana yang akan Anda pilih. Selain itu, Anda juga dapat memijam peta kawasan Kotatua agar tidak tersasar. Penyewaan sepeda ontel tersebut bahkan menyediakan topi yang biasa digunakan orang-orang Belanda zaman dulu yang dipasangkan dengan sepeda ontel. Dengan menggunakan sepeda ontel untuk mengelilingi Kotatua, Anda pasti akan semakin merasakan atsmosfer masa lalu.

1 komentar:

Unknown mengatakan...


Sdh lama y tdk jumpa