I'm not yours


Malam gelap, tak banyak bintang. Tapi memang bukan bintang yang kita cari di tempat ini. Justru cahaya dari lampu-lampu kota yang menjadi tujuan kita duduk di atap gedung seperti ini. Bintang yang bertaburan terlalu sulit dinikmati di kepadatan kota Jakarta. Realistis saja, itu alasanmu memilih kilauan cahaya lampu kota sebagai ganti taburan bintang. Kamu juga yang memperkenalkanku pada tempat ini, mengajakku kemari dikala kamu bosan dengan rutinitas kota atau kesal dengan tekanan keluarga yang menginginkanmu menikah secepatnya dengan pilihan mereka. Aku selalu mengikutimu, mengikuti apapun yang kau mau.

Tapi malam ini berbeda. Kini kamu yang menuruti kemauanku. Bukan kamu yang mengajakku ke tempat ini seperti biasa karena bosan dengan rutinitas kantor atau tekanan keluarga yang memintamu segera menikahi gadis pilihan mereka. Kali ini aku yang memintamu. Dan seperti biasa, kamu seringkali meloloskan keinginanku, kecuali ketika aku memintamu melepaskanku.

Kau duduk disampingku memandang ke depan, ke arah kilauan cahaya lampu kota sambil berbisik. “Perempuanku, bisakah malam ini, biarkan ada kita, bukan kamu atau aku?”

Dulu aku selalu tersenyum ketika kamu memanggilku perempuanmu. Namun kini, yang terasa justru perih. Aku masih menunduk. mesti kutahu pasti matamu menatapku lekat. Aku tahu pasti dimana batasku. Aku hanya diam tak sanggup balik menatapmu.

“Kenapa kau panggil aku demikian? Kamu tahu pasti, kini aku tak suka dipanggil dengan panggilanmu itu.” Aku bertanya setengah berbisik.

“Kenapa? Bukankah dulu kau sangat suka ketika aku memanggilmu perempuanku?” Dia balik bertanya. Namun aku hanya diam.

“Aku ingin malam ini kau jadi perempuanku. Biarkan dunia berkata apapun. Kau tetap perempuanku. Dan saat ini, aku ingin hanya ada Kita.”

“Sampai kapan ada kata Kita?” Aku kini memberanikan diri menatapnya. Menatap wajah yang paling kucintai 5 tahun terakhir ini.

Dia menghela nafas. Berpaling dariku dan kembali menatap ke depan. Tangannya semakin mendekapku erat.

“Aku bukan perempuanmu Seno, ingat itu! Dan hubungan ini tak akan ada ujungnya.” Aku memalingkan wajahku dan ikut menatap ke depan seperti yang ia lakukan sambil melepaskan dekapannya.

“Tuhan.. sesulit itukah?” Tiba-tiba kau menyebutkan nama-Nya. Nama yang jarang sekali kudengar dari mulutmu.

“Sudahlah Seno! Hubungan kita dari awal memang sudah salah. Aku tak mengerti mengapa kita bisa jadi begini. Dulu kita sahabat, tak bisakah Kita kembalikan hubungan kita seperti dulu?” Aku menatapnya semakin lekat. Dadaku terasa sesak mengucapkannya.

“Kamu bisa?” Ia kembali menatapku.

“Ya .” Aku memalingkan wajah dan menjawabnya dengan suara lirih .

“Tatap aku” dia memintaku setengah membentak. Tak lama kemudian matanya berubah menjadi sayu ketika tatapan kami bertemu. Dia menemukanku air mataku dan kemudian memelukku. Akupun terisak-isak dibahunya.

“Tapi kamu menangis. Dan itu pasti jawaban bohong! Kamu sama denganku. Sama-sama tak bisa melepaskan hubungan ini. Aku mencintaimu perempuanku.”

“Berhenti memanggilku demikian Seno. Aku bukan perempuanmu.” Aku melepaskan pelukannya. Kini aku benar-benar marah. Seno benar-benar membuatku semakin marah. Marah dengan keadaan dan marah dengan Tuhan.

“Lalu kau ingin kupanggil apa? Kalau kekasihku saja bagaimana?” Tanyanya memamerkan wajahnya yang jenaka. Mencoba menghiburku. Dia lalu tersenyum dan melanjutkan kata-katanya. “Tidakkah kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu?”

Aku menghela nafas. Mencoba menatapnya tanpa sedikitpun air mata menetes. “Aku mencintaimu Suseno Prakuso Dewo. Melebihi apapun juga”. Aku mencoba kuat. Namun tetap saja air mata ini meleleh. Kuseka air mataku dan melanjutkan setiap kata-kata dengan isakan.

“Tapi tak ada yang mendukung Kita. Keluarga kita, orang-orang disekitar Kita. Semua membenci Kita yang seperti ini. Bahkan Tuhanpun bisa murka.” Dia diam. Seperti mencoba menelaah setiap kata yang kuucapkan.

“Tuhan.. kenapa kamu buat kami bingung.” Kamu bertanya seolah Tuhan ada didepanMu.

“Ini semua memang sejak awal sudah salah. Kamu, Aku, Kita sama-sama tahu kita salah. Dan kita terjebak terlalu dalam. Kini, janganlah Kita menyalahkan Tuhan.” Aku mencoba meraih bahunya, mencoba menenangkannya, padahal hatiku juga sama kacaunya.

“Pulanglah Seno, semua orang menunggumu. Keluargamu, mereka membutuhkanmu. Semuanya menantimu dirumah. Jangan sampai mereka tahu kamu masih bersamaku disini. Demikian juga aku. Tinggalkan saja aku sendiri disini.” Aku kemudian bangkit dari posisi dudukku dan mencoba memberikan tanganku.

“Tapi, kau perempuanku. Tak mungkin aku meninggalkanmu.” Kau menetapku dan tetap tak mau bangkit dari posisimu. Namun tanganmu justru menggenggamKu erat.

“Sudahlah. Kalau begitu biar aku yang pergi meninggalkanmu duluan. Kembalilah pada keluargamu. Anggap saja Kau dan Aku hanya kenangan buruk yang harus dilupakan. Terima Kasih atas segalanya.” Aku akhirnya menarik tanganku darimu. Berpaling darimu dan meninggalkanmu.

“Tunggu” Suara itu menghentikan langkahku. Namun, aku tak bisa menoleh dan tak boleh menoleh sedikitpun. Aku hanya diam mendengarkan.

“Kau bukanlah kenangan buruk. Kau kenangan terindah dalam hidupku. Dan kau akan tetap menjadi perempuanku.” Teriaknya membuatku ingin sekali dan berpaling memeluknya. Tapi aku harus kuat.

“Demikian kau juga dihatiku Sen. Kau adalah kenangan terindah. Namun tetap aku bukan perempuanMu. Terima kasih Seno..” Lirihku dalam hati. Biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. “Maafkan Aku Tuhan. Ampuni Aku.”

“Mahendra Atmaja”

Kau meneriakkan namaku. Namun, aku tetap harus berjalan ke depan. Tak boleh lagi menoleh ke belakang. Biarlah kisah itu berlalu dan kita sama-sama memulai lembaran baru. Tak ada lagi kata “kita”. Kini hanya ada kata kau atau aku.


Jakarta, 31 Oktober 2009
23.14

6 komentar:

denyuliansari mengatakan...

hahahaha.. yantooo.. tadinya gw ga ngertiiii.. tapi ternyata ini percintaan sesama jenisssss... hyhyhyh.. bagus kok... tapi cuma sedikit to...

achmad nurghani mengatakan...

buset..cerpen terus..
jadi pengen bikin,,
bikin ah..

Wanderlust mengatakan...

jailah yanto, terinspirasi dari anak2 jurnal yang homo ya? hehehe. becanda. ga maksud mencela homo. homo juga manusia. hehe..

Agustiyanti mengatakan...

EBy: Sedikit terinspirasi bi. Tapi kalau dipikir2.. homo itu manusia dan punya hak hidup yang sama. Mereka cuma sedikit berbeda dari mayoritas. makanya dibilang aneh.

Ical: ayolah.. lagi mulai belajar nulis fiksi.. bosen nulis fakta mulu.. hehe

chepyta mengatakan...

huhu,, terinspirasi dari gerhana kembar yak? guud,, gw mpe bercucuran aer mata baca tuh novel,, menangisi percintaan para nenek yang lesbi, heee,,

Agustiyanti mengatakan...

iya.. gerhana kembar keren banget..
dimsum terakhir juga..
cinta banget gw ma clara ng..
terisnpirasi dari gerhana kembar.. tapi sebenernya bikin ini gara2 sering denger cowok2 jurnal yang suka maen kata2an homo..hehehe
gw mah baa gerhana kembar udah setahun yang lalu