Memilih Tanpa Melihat Gender



Perempuan, salahkah masuk dalam politik? Pertanyaan itu ada di otak saya melihat sedikitnya perempuan yang terjun dalam dunia politik dibandingkan pria. Bukan hanya sedikit, perempuan juga sepertinya sulit untuk mendapatkan akses berperan dalam kehidupan politik sehingga mesti memperjuangkannya dalam bentuk affirmative action. Affirmative action ini kemudian akhirnya dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi karena dianggap justru tidak adil. Benarkah demikian?

Kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa ditentukan oleh peran perempuan yang ada di dalamnya. Perempuan memiliki peran penting karena berperan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa. Perempuan jugalah yang memiliki peran besar mendidik generasi-generasi tersebut. Itulah mengapa perempuan disebut-sebut sebagai tiang sebuah bangsa. Bahkan sering kali dikatakan bahwa di balik sepak terjang tokoh-tokoh besar (besar karena kebaikan ataupun keburukan) terdapat perempuan di belakangnya.

Namun, apakah hanya sebatas itu peran perempuan? Menjadi orang dibalik layar.
Meskipun diakui memiliki peran yang besar dalam kehidupan sebuah bangsa. Namun, balum banyak perempuan yang dilibatkan dalam proses penentuan kebijakan bangsa atau ikut terlibat dalam pemerintahan. Dalam politik, perempuan sering berada diposisi atau diposisikan dibelakang laki-laki.

Padahal dalam pasal 28-D ayat 3 UUD Negara RI Tahun 1945 disebutkan bahwa "Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan". Ini berarti tidak terkecuali bagi perempuan. Perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama untuk berpolitik dan duduk di kursi pemerintahan.

Perempuan dalam Politik
Perempuan sama halnya dengan laki-laki, memiliki hak yang sama dalam berpolitik. Namun, kesamaan hak itu tidak lantas membuat jumlah perempuan dan laki-laki dalam parlemen seimbang. Ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di dunia. Data perempuan yang duduk di parlemen di dunia rata-rata hanya 14% dari total anggota parlemen. Di Indonesia malah hanya sekitar 8% *(* data UNDP).

Minimnya partisipasi perempuan juga ditegaskan berdasarkan data yang ada dalam sejarah politik Indonesia, sejak pemilihan pertama tahun 1955. Pada pemilihan umum pertama tahun 1955 hanya ada 3,8 persen perempuan di parlemen Indonesia. Pada tahun 1960-an, terdapat peningkatan yaitu 6,3 persen. Angka tertinggi jumlah perempuan dalam parlemen terjadi pada periode 1987-1992 yaitu 13 persen. Tetapi turun kembali menjadi 12,5 persen pada periode 1992-1997, dan 10,8 persen menjelang Soeharto jatuh, dan 9 persen pada periode 1999-2004. Pada periode 2004-2009 juga hanya ada 11,4 persen atau 63 perempuan yang menjadi anggota parlemen (DPR) periode 2004-2009.
Dari data tersebut, kita bisa mengetahui kejomplangan yang terjadi antara jumlah anggota parlemen laki-laki dan perempuan di Indonesia. Ini membuktikan demikian minimnya partisipasi perempuan dalam politik di Indonesia.

Salah satu alasan yang mendukung minimnya partisipasi perempuan dalam politik adalah kualitas pendidikan perempuan yang sebagian besar masih berada di bawah laki-laki, baik pendidikan politik maupun pendidikan pada umumnya. Selain itu, budaya patriarki yang masih sangat mengakar di Indonesia juga menjadi salah satu hambatan besar calon-calon anggota legislatif perempuan untuk meraih kursi parlemen.

Padahal, perempuan yang duduk di kursi parlemen diharapkan dapat membawa perubahan. Bagaimanapun, perempuan adalah makhluk yang cinta damai, tidak suka peperangan dan konflik. Ini terbukti dengan walk out-nya empat belas orang anggota parlemen perempuan di parlemen Amerika karena tidak setuju perang, menjelang perang Irak. Oleh karena itu, perempuan-perempuan tersebut diharapkan ikut menentukan kebijakan yang pro perempun dan pro damai.

Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Lembaga Riset Pembangunan Sosial (UNRISD), laki-laki yang terpilih menduduki jabatan eksekutif dan legislatif, yang memegang kendali atas pembuatan keputusan bagi prioritas pembangunan, sebagian besar tidak menyadari kebutuhan rumah tangga dan hubungannya dengan pembangunan sosial ekonomi pada tingkat masyarakat, kota, provinsi, maupun tingkat nasional.
Di sinilah peran besar perempuan dibutuhkan, yaitu untuk membawa perubahan bagi bangsa ini. Semakin banyaknya angota parlemen perempuan di Indonesia diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan bagi bangsa ini

Putusan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Kostitusi membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan adanya putusan MK ini, maka calon anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2009 tidak lagi berdasarkan nomor urut, tetapi harus meraih suara terbanyak.

Keputusan ini dianggap merugikan kaum perempuan. Pasalnya, affirmative action (tindakan khusus) untuk memperluas kemungkinan perempuan bisa langsung terakomodir di parlemen yang selama ini diperjuangkan menjadi termentahkan kembali oleh keputusan tersebut. Keputusan ini dianggap tidak demokratis dan mengebiri hak-hak kaum perempuan dalam berpolitik.

Sebagai perempuan, saya justru merasakan hal yang berbeda. Meskipun putusan tersebut membuat banyak calon legislatif perempuan merasa hal ini akan menjegalnya maju ke kursi parlemen. Putusan Mahkamah Konstitusi ini justru terasa lebih demokratis dan tidak deskriminatif. Karena dengan demikian tidak ada yang membedakan secara khusus, hak perempuan dan laki-laki dalam berpolitik.

Penentuan kuota 30 persen dan affirmative action yang diperjuangkan oleh kaum perempuan justru menurut saya pribadi mendatangkan deskriminasi bagi kaum perempuan itu sendiri dalam berpolitik. Dengan adanya penentuan kuota 30 persen dan zipper system yang digunakan untuk memperbesar volume kaum perempuan di dalam parlemen, justru memperlihatkan ketidakmandirian kaum perempuan dalam berpolitik. Zipper system adalah kombinasi caleg laki-laki dan perempuan dalam sebuah partai dimana diantara pencalonan tiga caleg harus ada satu orang caleg perempuan.

Hak istimewa seperti itu justru membuat kesan bahwa perempuan tidak dapat maju menjadi anggota legislatif tanpa bantuan tersebut. Bukankah dengan demikian justru mendeskriminasi kaum perempuan? Padahal, perempuan selama ini menuntut untuk disejajarkan dengan laki-laki.

Seharusnya perempuan dapat mandiri dalam berpolitik. Tidak mendatangkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dengan meminta hak khusus. Mereka harus bersaing secara adil, yaitu tidak ada perlakuan-perlakuan khusus yang diberikan baik pada perempuan atau laki-laki untuk dapat duduk di kursi parlemen. Perempuan harus bersaing dengan laki-laki berdasarkan kualitas yang dimiliki olehnya.

Perempuan dalam Kacamata Perempuan
Kaum perempuan selalu mengeluh betapa sulitnya perempuan untuk mendapatkan kursi parlemen. Padahal, jika perempuan memihak pada perempuan, hal ini tidak akan terjadi. Perempuan tidak harus memaksa pemerintah untuk melakukan penentuan kuota 30 persen atau zipper system. Tidak ada yang perlu ditakutkan, mengingat jumlah perempuan di Indonesia jauh melebih jumlah laki-laki.

Namun, permasalahan yang mendasar adalah sudahkan perempuan memilih perempuan? Mengingat wakil perempuan dalam parlemen hanya berkisar 11 persen, maka dipastikan bahwa perempuan-perempuan di Indonesia belumlah memihak perempuan. Ketidakpercayaan adalah faktor yang paling utama mengapa perempuan tidak memilih kaumnya sendiri.

Ini sebenarnya juga sangat terkait dengan budaya patriarki yang sangat kental di Indonesia. Budaya patriarki muncul sebagai bentuk kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan. Budaya inilah yang masih sangat melekat dalam pemikiran sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk kaum perempuan. Sebagian besar masyarakat masih menjadikan perempuan sebagai pilihan kedua dibawah laki-laki.

Meskipun ketidakpercayaan perempuan terhadap perempuan sebagian besar dipengaruhi oleh budaya patriarki, namun ketidakpercayaan itu juga dapat timbul oleh hal lain. Ketidakpercayaan terhadap kaum perempuan mungkin ditimbulkan oleh isu-isu yang dibawa oleh calon anggota legislatif perempuan yang tidak menyentuh perempuan. Padahal jika kita lihat lebih jauh, mengapa lebih banyak perempuan diperlukan dalam anggota parlemen? Salah satunya adalah untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan.

Namun, nyatanya anggota-anggota legislatif perempuan yang saat ini duduk di kursi parlemen tidak banyak memperjuangkan hak-hak perempuan. Tidaklah harus calon legislatif perempuan memperjuangkan nasib perempuan. Namun, jika terhadap kaumnya saja dia tidak memihak? Bagaimana dia akan dipilih oleh kaumnya?

Pasalnya, tidaklah melulu perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan. Hal tersebut dapat pula diperjuangkan oleh laki-laki. Untuk itu yang diperlukan oleh perempuan adalah meningkatkan kualitasnya sehingga bangsa ini dapat lebih percaya pada perempuan.

Selain itu, agar bisa duduk di kursi parlemen calon anggota legislatif perempuan harus memiliki strategi politik yang mengelolah isu kerakyatan dengan lebih mengutarakan solusi dan betul-betul menyentuh kebutuhan sosial rakyat. Perwakilan perempuan yang nantinya tepilih juga harus mempraktikan politik pro-perempuan dan rakyat.

Bukan hanya kesiapan calon legislator perempuan yang menjadi penentu. Masyarakat Indonesia juga harus siap memilih tanpa melihat gender. Masyarakat harus memiliki pikiran yang lebih terbuka, melihat calon yang akan dipilih lebih berdasarkan kualitas yang dapat ditunjukkan oleh calon tersebut dan tidak terpaku pada gender.

0 komentar: