Usia Emas Di Tengah Genangan Air



Sebagian ruang kelas berukuran 4 x 6 meter itu digenangi air. Hujan semalam membuat karpet yang menjadi alas lantai ruangan itu basah. Pelajaran yang seharusnya di mulai pada pukul 08.00 pun akhirnya molor beberapa menit karena Ibu Guru harus menjemur karpet yang basah dan membersihkan genangan air di lantai.

Begitulah suasana PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Pelita Harapan pada pagi hari, jika malam harinya hujan. Atap yang bocor meyebabkan ruang kelas tergenang air. Ibu Guru yang seharusnya mengajar pun, akhirnya mau tidak mau harus membenahi ruang kelas terlebih dahulu. Menjemur karpet dan mengepel lantai rela dilakukan Ibu Guru agar anak-anak dapat belajar dengan lebih nyaman.

PAUD Pelita Harapan yang tergolong dalam kelompok bermain ini berdiri sejak 3 tahun yang lalu. Awalnya, ruangan yang saat ini dijadikan kelas PAUD tersebut adalah ruang pertemuan warga, namun karena tidak terpakai, maka dialihkan menjadi ruang kelas PAUD.

“Masyarakat yang kasih tempat. Awalnya tempat pertemuan tapi tidak dipakai, jadi dipakai buat PAUD,” Ujar Juarningsih, kepala sekolah yang sekaligus merangkap sebagai guru di PAUD Pelita Harapan.

Juaningsih, yang akrab disapa Nining menceritakan bagaimana PAUD Pelita Harapan terbentuk. Awalnya, Juaningsih mengajar di TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) hanya dua kali dalam seminggu. Namun, karena banyak anak usia dini yang belajar di TPA membutuhkan pola pembelajaran yang berbeda dan bekal untuk masuk SD. Akhirnya, Juaningsih dan Irwan, suaminya sekaligus pemilik PAUD beserta para warga mendirikan PAUD dengan pola pembelajaran yang lebih umum dibandingkan TPA.

“Sebagian orang tua inginnya bukan hanya belajar seperti di TPA, tapi juga pembekalan untuk masuk SD,” kata Juarningsih.

Jika di TPA, seorang anak hanya mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, maka PAUD memiliki fungsi yang lebih luas. PAUD ini memberikan materi pembelajaran yang lebih banyak, mulai dari pengenalan iqra (dasar-dasar mempelajar Al-Quran), menggambar, menulis, membaca, olahraga, dan melatih kreativitas anak. Namun, PAUD ini belum memiliki fasilitas yang cukup memadai.

Tidak seperti TK, Kelompok Bermain, atau PAUD sejenis yang memiliki beragam fasilitas yang menunjang, seperti alat permainan indoor (balok, bonkar-pasang, dll) dan outdoor (ayunan, perosotan, dll), PAUD ini tidak memilikinya. Padahal, menurut Ali Nugraha, Pakar PAUD Jawa Barat, jika kita ingin anak berkembang dengan baik maka harus ada fasilitas atau sarana yang memadai.

“Misalkan kalau anak kita ingin cerdas dalam logika dan mengkonstruksi, ingin dicita-citakan menjadi arsitektur yang hebat. Katakanlah dengan mulai main balok, minimum harus ada 100 keping balok untuk seorang anak. Atau kebutuhan anak untuk menggambar, explore warnanya harus banyak,” ujar Ali yang juga dosen PGTK Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.

Bukan hanya minim fasilitas permainan anak, Bangunan PAUD ini juga kurang memadai. Lantai bangunan ini masih belum berkeramik dan masih menggunakan semen. Dinding-dinding bangunannya berlumut. Bahkan atap bangunan bocor, sehingga jika hujan datang pada malam hari, ruang kelas menjadi tergenang air pada pagi harinya.

“Untungnya, selama ini hujan deras hanya pada malam hari, tapi kalau pagi-pagi hujan, biasanya pindah ke rumah saya,” tutur Juaningsih lirih.

Lantai kelas yang basah karena digenangi air, membuat anak-anak harus berjalan dengan hati-hati ketika memasuki ruang kelas untuk menghindari resiko terpeleset. Karpet yang menjadi tempat mereka duduk pun masih terasa dingin dan lembab.

Kondisi ini tentunya membuat proses belajar terganggu, walaupun kegiatan belajar tetap terlaksana. Menanganggapi ini, Ali mengatakan bahwa atap ruang kelas yang bocor akan membuat anak tidak nyaman dan bahkan menjadi takut.

Lebih jauh, Ali menambahkan bahwa tempat pendidikan anak usia dini tidak hanya harus jauh dari bencana, tetapi juga kebisingan. Ini tentunya menjadi hal yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pendidikan anak usia dini. “Anak-anak itu harus dalam kondisi aman dan nyaman,” tegas Ali.

Minimnya dana yang dimiliki oleh PAUD ini, menjadi penyebab tidak kunjung diperbaikinya atap kelas yang bocor itu. Masyarakat yang semula membantu menyediakan tempat pun tidak dapat membantu cukup banyak.

Meskipun fasilitas tidak memadai, orang tua merasa cukup terbantu dengan adanya PAUD Pelita Harapan ini. PAUD yang hanya memungut biaya sebesar 15 ribu rupiah perbulan (sudah termasuk majalah untuk anak) dirasa sangat membantu orang tua murid yang sebagian besar berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Ani, salah satu orang tua murid mengungkapkan bahwa suaminya hanya bekerja sebagai buruh bangunan yang pekerjaan tidak tentu ada tidaknya. Penghasilan suaminya dari menjadi buruh bangunan hanya sekitar 300 ribu rupiah perbulan. Sedangkan Ani yang hanya memiliki satu anak ini tidak bekerja.

Sama halnya dengan Ani, Ina, orang tua murid yang memliki dua orang anak ini hanya menjadi ibu rumah tangga. Suaminya bekerja sebagai tenaga honorer di Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Ina yang juga (Fapet Unpad). Sebagai tenaga honorer di Fapet Unpad, suami ina hanya mendapat honor 400-500 ribu per bulannya.

Padahal upah minimum kecamatan Jatinangor jauh diatas penghasilan kedua orang tua murid tersebut, yaitu sekitar 850 ribu rupiah pada tahun 2007.

Meskipun minim fasilitas, beberapa orang tua murid tersebut merasa senang anak-anaknya dapat belajar di PAUD Pelita Harapan. “Ada perubahan setelah sekolah disini, anak saya bisa tulis huruf, angka, juga bisa baca doa,” ungkap Ani, dengan nada gembira.

Hal ini, justru diungkapkan Ali sebagai kelemahan orang tua. Menurutnya, mereka belum mampu melihat secara keseluruhan pentingnya pendidikan anak usia dini. Sehingga, walaupun mereka sudah menyekolahkan anaknya ke tempat pendidikan anak usia dini, mereka masih memiliki harapan yang tidak cocok.

“Orang tua biasanya sangat menuntut kemampuan baca tulis hitung. Padahal kemampuan itu jangan dulu diberikan, kecuali hal-hal yang sifatnya mendasar saja. Jadi, baiknya kemampuan baca tulis hitung diberikan di SD. Kalaupun mau, hanya pra saja, pra menulis dan pra berhitung,” ungkap Ali.

Meskipun PAUD ini memberikan materi belajar membaca dan menghitung yang seharusnya di terapkan di SD, namun materi disampaikan sangat mendasar dan disampaikan tidak secara langsung tetapi menggunakan cara yang menyenangkan.
PAUD ini juga tidak hanya memberikan materi membaca dan menghitung kepada anak-anak, tetapi juga memberikan materi keagamaan dan budi pekerti dengan menggunakan nyanyian atau permainan.

Ali mengungkapkan, bahwa hal-hal utama yang harus menjadi materi pendidikan anak usia dini sebaiknya sesuai dengan aspek-asek perkembangan yang akan dan mesti dilalui anak. Mulai dari materi yang terkait dengan perkembangan keimanan dan ketakwaan pada tuhan, materi yang terkait dengan perkembangan kognitif anak, sepert logika-logika, cara berpikir dan mengerjakan sesuatu dengan benar.

Kemudian, materi yang terkait dengan kebutuhan pengembangan bahasa, yaitu mengajaran bahasa yang benar, normatif, dan diterima. Hingga materi yang terkait dengan pengembangan kemampuan sosial anak, seperti cara berinteraksi yang benar dengan teman, orang tua, dan guru penting disampaikan pada usia dini.

“Itu harus diberikan secara benar dari sisi materi. Selain itu, materi harus lengkap dan sesuai dengan harapan semua dimensi kecerdasan anak usia dini,” Ujar Ali. “Setidaknya perkembangan dengan baik itu berkembangan secara seimbang.”

Pendidikan anak usia dini adalah tanggung jawab bersama antara penyelenggara, masyarakat sekitar, dan pemerintah (RT, RW, hingga pemerintah pusat). Untuk itu, butuh kerjasama yang baik antara berbagai pihak guna terselenggaranya pendidikan anak usia dini yang memadai.

Usia dini yaitu usia antara 0- 6 tahun (Indonesia) atau 0-8 tahun (internasional) adalah usia emas atau goleden age. Karena usia emas, sebaiknya usia tersebut diproritaskan untuk mendapatkan pendidikan dengan materi dan cara yang benar sesuai dengan perkembangan anak.

“Perkembangan otak anak, 70-80 persen berkembang pada usia dini. Artinya, kalau kita berhasil mendidik anak sampai usia dini, maka kita sama dengan menuntaskan dan memberikan keberhasilan anak untuk kehidupan dewasanya 50-60 tahun ke depan,” ungkap Ali.

0 komentar: